Develop the Attitude of a Student
Bismillah.
Latar
belakang tulisan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang ditanyakan kepada saya :
“Kenapa siy, mbak, kamu tuh seneng banget belajar?” Pertanyaan ini beberapa
kali ditanyakan ke saya, dan saya malah jadi bertanya-tanya sendiri, “Masa siy?
Kayaknya saya biasa aja, nggak segitunya banget seneng belajar”. Ya memang saya
sangat biasa saja, kok, saya cuma senang membaca dan mendengarkan Islamic
lectures, dan saya sangat-sangat mengagumi para cendekiawan, aristocrat,
birokrat, yang ilmunya luas namun tetap humble dan mampu menyampaikan ide besar
dengan cara yang sangat sederhana. Dan saya pikir, kita sangat butuh
orang-orang seperti ini. Kalau bisa, 1 diantara 2 orang ya seperti ini gitu,
ehehehe, aamiin.
So,
saya gabung di Grup Foundation IIP di kota saya dan setelah beberapa bulan
berlalu, alhamdulillah saya diberi rejeki kesempatan untuk belajar di Grup
Pra-Matrikulasi (tulisan tentang apa itu IIP dan grup-grupnya, next time insya
Allah saya share ya). Lalu, kami diberi beberapa Code of Conduct, pedoman
perilaku atau adab, yang harus kami tanamkan dan jalankan dengan baik. Saya jadi
teringat salah satu lecture Ust Nouman Ali Khan yang membahas tentang Attitude
of a Student (silakan lihat videonya disini) dimana kisahnya termuat dalam QS
Al Kahf mengenai satu fragmen hidup Nabi Musa AS dalam belajar, menuntut ilmu
kepada seorang Hamba Allah (saya baru tahu kalau dalam kisah ini, tidak pernah
disebut nama Khidr sebagai Guru Nabi Musa AS, wallahualam).
Tulisan
ini adalah interpretasi saya terhadap kisah Nabi Musa AS tersebut dan
pandangan-pandangan saya pribadi. Kita bebas berargumen ya. Please kindly leave
a message sekiranya ingin diskusi.
Sebagai
manusia, saya pribadi merasa punya kebutuhan untuk terus belajar. Ketika kebutuhan
itu semakin meningkat, maka saya akan berkata, “Duh, gw pengen banget belajar
A, gw butuh deh, gw akan lakukan apa aja supaya gw lebih paham
A”. Adakah Ibu-ibu yang pernah merasa sangat bersemangat belajar
seperti saya ini? Good, saya ada teman. Ayo kita lanjut.
Ketika
Nabi Musa AS diperintahkan oleh Allah SWT untuk menimba ilmu, dikisahkan bahwa
Nabi Musa AS berucap : “I’m gonna keep on going until I find the place where
the two oceans meet, even if I have to spend ages and ages looking for this
place, I will go because I want to learn” Dari sini kita belajar bahwa belajar
membutuhkan KOMITMEN di awal. Ini juga
mengajarkan kita tentang pengorbanan dalam meraih ilmu bukan? Bayangkan perjalanan
begitu jauh yang ditempuh Nabi Musa AS untuk menemui Gurunya “hanya” untuk belajar.
Masya Allah.
Nabi
Musa AS ketika diperintahkan Allah SWT untuk menimba ilmu, beliau belum tahu
pelajaran seperti apa yang akan Beliau pelajari, bagaimana pelajaran tersebut
akan diajarkan, dsb, bukan? Lalu Guru Beliau mensyaratkan bahwa Nabi Musa AS
harus memiliki KESABARAN (Sabr)
dalam menjadi muridnya. Dengan semua portofolio kesabaran Nabi Musa AS
sepanjang hidup, bukankah kita tahu Nabi Musa adalah salah satu manusia paling
sabar di muka bumi? Menghadapi kekejaman Firaun? Melarikan diri dari Firaun
dengan semua pengikutnya dan terdampar di gurun pasir tanpa makanan dan minuman
selama beberapa lama? Menjadi buron tentara Firaun seorang diri tanpa keluarga,
tanpa harta, tanpa makanan, dan hanya memiliki pakaian yang dipakai? Kurang sabar
apa coba? (disini saya langsung ngaca betapa tidak sabarnya saya).
Sabr
disini bukan hanya soal sabar, tapi juga kemampuan untuk konsisten (Ust NAK).
Maka
Nabi Musa AS meyakinkan Gurunya untuk dapat menerima beliau sebagai murid dan
bahwa beliau akan sabr dalam belajar. Dan dimulailah perjalanan keduanya yang
kita semua sudah hapal kisahnya.
Pada kejadian pertama, Nabi Musa AS yang tidak
bisa melihat ketidakadilan mengungkapkan protes kepada Gurunya. Apa respon Guru
beliau? Kurang lebih Gurunya berkata : "Saya sudah katakan bahwa kamu tidak akan
memiliki sabr terhadap saya". Maka Nabi Musa AS meminta maaf dan juga meminta
diberi kesempatan untuk tetap belajar. Pada momen ini, Nabi Musa AS menyadari
bahwa beliau telah melanggar kesepakatan di awal bahwa prasyarat belajar adalah
sabr.
Pada
kejadian kedua, Nabi Musa AS kembali mengajukan protes kepada Gurunya dan untuk
kedua kalinya Guru beliau mengingatkan Nabi Musa AS bahwa beliau tidak akan
memiliki sabr terhadapnya. Di kesempatan ini, Nabi Musa AS kembali meminta maaf
dan meminta 1 kesempatan lagi untuk belajar dan berkata bahwa jika nanti beliau
melakukan kesalahan lagi, maka Gurunya berhak mengeluarkan Nabi Musa AS dari
pelajaran yang mereka jalani tersebut. Maka mereka melanjutkan perjalanan.
Kita
semua hapal bahwa pada kejadian ketiga ketika Nabi Musa AS mengajukan protes
atas ketidakadilan yang Beliau saksikan, Gurunya berkata : “This is where we
apart” yang secara harfiah bermakna bahwa kesempatan belajar bagi Nabi Musa AS
telah berakhir dengan dilanggarnya kesepakatan. Nabi Musa AS tidak lagi meminta
diberi kesempatan lain. Kenapa? Kan beliau nabi? Ya, Beliau adalah Nabi Allah, dan
pada momen tersebut, sesungguhnya Nabi Musa AS sedang mengajari kita, kita niy,
saya, si manusia biasa ini, bahwa belajar bukanlah hal kecil. Belajar itu kewajiban,
dan sebagaimana layaknya sebuah kewajiban, ada prasyarat, ada pre-requisite
yang harus dipenuhi.
Allah
SWT melalui kisah Nabi Musa AS ini mengajari kita bahwa dalam belajar, ada adab,
ada code of conduct yang harus dipatuhi. Nabi Musa AS menunjukkan sikap patuh
tersebut: keseimbangan antara keinginan belajar (passion for learning) dan rasa
hormat terhadap Guru dan lembaga pendidikan (respect for the teacher and the
institution) adalah hal penting. Keseimbangan ini membutuhkan 2 (dua) bahan
baku : komitmen dan sabar. Daaaan.... sebagai murid, saya haruslah sanggup memiliki
kedua bahan baku tersebut. Salah satunya saja nggak bakal cukup. Yakin deh.
Agak
jauh ya kisahnya? Nggak kok, kisah seperti ini mudah banget kita temui
sehari-hari.
Dengan
begitu mudahnya akses terhadap teknologi dan informasi, hidup kita jadi lebih
mudah kan ya? Dulu beli sesuatu harus pergi ke toko, sekarang tinggal klik,
barangnya sudah sampai rumah. Dulu kirim uang pakai wesel (duh jadul amat),
sekarang tinggal klik, uang berpindah.
Nah,
hal yang sama juga terjadi dengan pengetahuan. Dulu belajar harus ngumpul semua
di sebuah ruang kelas fisik, duduk manis, dan guru akan datang mengajar. Sekarang?
Begitu banyak grup WA/LINE/milis yang menjadi ruang-ruang belajar virtual
dimana guru dan murid bahkan nggak pernah ketemu. Tantangannya adalah
memastikan bahwa kita (oh salah, saya) punya KOMITMEN dan SABR serta ADAB dalam
belajar, meskipun di ruang kelas virtual saat ini. Sebagai ibu, istri, karyawan
kantoran juga, saya ngaku saya gampang ter-distract dengan aliran informasi
maupun berbagai aktivitas lain. Jadi, bisa dibilang, ruang kelas virtual ini jadi
alternatif yang memungkinkan saya memperoleh ilmu baru tanpa harus meluangkan
waktu khusus. Tapi masa iya sih begitu? Masa iya siy, belajar itu bisa disambi?
Sambil lalu, dibaca materinya (yang biasanya juga cuma di-scroll up
cepat-cepat) trus udah? Gitu aja? Trus ketika nggak sempat memantau diskusi,
adilkah bagi teman lain yang rajin ketika kita minta catatannya? Trus saya
marah-marah gitu ketika diingatkan bahwa ada aturan kelas yang harus dipatuhi? Lalu
mencari faktor eksternal yang bisa disalahkan? Kerjaan kantor numpuk siy, anak
rewel siy, dsb dsb. Saya jadi tertampar sendiri kadang : Do I have the attitude
of a student? Nggak nyaman ya belajar. Ada pengorbanan, ada komitmen, kudu
sabar pula. Yes, that’s the price of a knowledge. Do I have the gut?
Bukan
ilmunya yang mahal, tapi komitmen dan sabr nya itu yang tak ternilai. Dan kita
berdoa agar kita mampu mewariskan ini kepada keturunan kita kelak : kecintaan
akan ilmu dan semangat juang tak terbendung. Insya Allah. Aamiin.
Jakarta,
13 Desember 2017
Comments
Post a Comment
Nothing compares to good feedback, and yeah, good feedback means positive and negative feedback. I need those both! Please share here.